SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
Inovasi perbankan berbasis teknologi informasi di industri perbankan
dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa.
Sebagai contoh, adanya produk-produk electronic banking seperti ATM,
Kartu Kredit, Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone
banking, dll, telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak
terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal
ini pada gilirannya telah meningkatkan volume dan nilai nominal
transaksi keuangan di perbankan secara sangat signifikan.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, transaksi elektronik yang dilakukan
dengan menggunakan kartu (kartu kredit, kartu debet, ATM, kartu ATM +
debet) di Indonesia selama jangka waktu Januari s/d Agustus 2008, jumlah
transaksi yang terjadi adalah sebanyak 980,4 juta transaksi dengan
nilai nominal transaksi Rp1.463 triliun, dan jumlah kartu yang beredar
sebanyak 51,35 juta kartu yang diterbitkan oleh 118 penyelenggara (53
penerbit kartu ATM, 20 penerbit kartu kredit, 38 penerbit kartu
ATM+Debet, dan 7 penerbit kartu prabayar).[1]
Pemanfaatan teknologi informasi bagi industri perbankan dalam inovasi
produk jasa bank juga dibayang-bayangi oleh potensi risiko kegagalan
sistem dan/atau risiko kejahatan elektronik (cybercrime) yang dilakukan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kegagalan sistem dapat
disebabkan karena adanya kerusakan sistem (seperti misalnya server
down), dan dalam skala luas bisa disebabkan karena adanya bencana alam.
Sementara itu, cybercrime yang terjadi pada industri perbankan di
Indonesia cenderung meningkat di Indonesia seperti terjadinya identity
theft, carding, hacking, cracking, phising, viruses, cybersquating, ATM
fraud, dll. Berdasarkan data Bank Indonesia, terdapat peningkatan yang
signifikan terkait penipuan E-Banking dalam 2 tahun terakhir. Pada tahun
2006 terdapat volume laporan 57,766 dengan nilai Rp. 36,5 Triliun,
sedangkan pada tahun 2007 terdapat volume laporan 532.533 dengan nilai
Rp. 45,7 Triliun[2].
II. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Transaksi Elektronik
Transaksi yang dilakukan secara elektronik pada dasarnya
adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik
dengan memadukan jaringan sistem elektronik berbasiskan komputer dengan
sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan
jaringan komputer global atau internet (vide Pasal 1 angka 2 UU ITE)[3].
Hubungan hukum merupakan merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih
(subyek hukum) yang mempunyai akibat hukum (menimbulkan hak dan
kewajiban) dan diatur oleh hukum. Dalam hal ini hak merupakan kewenangan
atau peranan yang ada pada seseorang (pemegangnya) untuk berbuat atas
sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain.
Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau dilaksanakan
oleh seseorang untuk memperoleh haknya atau karena telah m,endapatkan
haknya dalam suatu hubungan hukum. Obyek hukum adalah sesuatu yang
berguna, bernilai, berharga bagi subyek hukum dan dapat digunakan
sebagai pokok hubungan hukum. Sedangkan subyek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajibannya atau memiliki
kewenangan hukum (rechtsbevoegdheid).
Dalam lingkup privat, hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan
antar individu, sedangkan dalam lingkup public, hubungan hukum tersebut
akan mencakup hubungan antar warga negara dengan pemerintah maupun
hubungan antar sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksud untuk
tujuan-tujuan perniagaan, yang antara lain berupa pelayanan publik dan
transaksi informasi antar organisasi Pemerintahan[4].
Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memiliki peran yang sangat penting.
Pada umumnya makna transaksi seringkali direduksi sebagai perjanjian
jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu, padahal dalam
persepektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya ialah
keberadaan suatu perikatan maupun hubungan hukum yang terjadi antara
para pihak. Makna yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada
aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak,
bukan perbuatan hukumnya secara formil. Oleh karena itu keberadaan
ketentuan hukum mengenai perikatan tetap mengikat walaupun terjadi
perubahan media maupun perubahan tata cara bertransaksi. Hal ini tentu
saja terdapat pengecualian dalam konteks hubungan hukum yang menyangkut
benda tidak bergerak, sebab dalam konteks tersebut perbuatannya sudah
ditentukan oleh hukum, yaitu harus dilakukan secara ”terang” dan ”tunai”
Dalam lingkup keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi
tersebut akan merujuk keperdataan khususnya aspek perikatan, makna
transaksi hukum secara elektronik itu sendiri akan mencakup jual beli,
lisensi, asuransi, sewa dan perikatan-pertkatan lain yang lahir sesuai
dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Dalam lingkup
publik, maka hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antara warga
negara dengan pemerintah maupun hubungan antar sesama anggota
masyarakat yang tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan perniagaan.
Mengenai definisi public, dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa
public is relating or belonging to an entire community, state, or
nation[5].
III. Kontrak Elektronik dan Kebebasan Berkontrak
Hubungan hukum dalam kontrak elektronik timbul sebagai perwujudan dari
kebebasan berkontrak, yang dikenal dalam KUH Perdata. Asas ini disebut
pula dengan freedom of contract atau laissez faire. Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah,
berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Mengenai freedom of contract ini, menarik untuk disimak apa yang
dipaparkan oleh Aduru Rajendra Prasad sebagai berikut :
“The freedom of contract doctrine is an extension of ‘one of the most
cherished aspects of individual liberty. It is nothing but leaving the
parties as the best judges of their own bargains and persuading them to
subjects to their own obligations. The doctrine was given full play in
the 19th century on the ground that the parties are the best judges of
their own interest, and if they freely and voluntarily entered into a
contract the only function of the court was to enforce it. It was a
reasonable social ideal and was upheld unless “injury is done to the
economic interests of the community. Freedom of contract was judicially
supported for the reason that is emphasized ‘the need for stability,
certainty and predictability.”[6]
Asas kebebasan berkontrak disebut dengan “sistem terbuka”, karena siapa
saja dapat melakukan perjanjian dan apa saja dapat dibuat dalam
perjanjian itu.
Dengan demikian perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sama dengan
undang-undang, bagi mereka yang membuat perjanjian. Pengertian ini
mengandung makna bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang
melakukan perjanjian, sehingga pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat
menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak
yang melakukan perjanjian tersebut.
Meskipun demikian, terdapat pembatasan terhadap kebebasan berkontrak
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa perjanjian sah, apabila didasarkan pada:
1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri (agreement);
2. Kecakapan dari pihak-pihak (Capacity);
3. Mengenai hal tertentu (Certainty of terms);
4. Suatu sebab yang halal (Consideration).
ELECTRONIC FUND TRANSFER SYSTEM
Sejak tahun 2000, Bank Indonesia memperkenalkan kepada stakeholder yakni
perbankan nasional apa yang disebut real time gross settlement (RTGS).
BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement)
pembayaran yang dilakukan per transaksi dan bersifat real time. Melalui
mekanisme BI-RTGS ini rekening peserta dapat didebit dan dikredit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan
penerimaan pembayaran.
Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa BI memakai settlement melalui
RTGS. Alasan pertama, jika membuka kembali literatur dan merujuk hasil
studi empiris, ada semacam kesadaran baru dari bank-bank sentral di
seantero jagad ini untuk mengelola Large Value Transfer System (LVTS).
Sistem BI-RTGS dapat mengurangi risiko sistemik. Yang dimaksud dengan
risiko sistemik adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Kegagalan bayar ini akan membuat
peserta bank lain juga ikut terancam. Bahkan dalam situasi ekstrem,
gagal bayar ini berpotensi memicu kesulitan finansial yang lebih luas
yang dapat mengancam stabilitas sistem pembayaran.
Alasan kedua, melalui sistem RTGS dapat mengurangi timbulnya float yang
diharapkan dapat menyokong efektifitas pengawasan perbankan. Pada sisi
lain dengan pengelolaan likuiditas yang baik di sektor perbankan juga
akan membantu efektifitas kebijakan moneter. Alasan ketiga, sistem RTGS
membuka peluang integrasi dengan berbagai aplikasi sistem pembayaran.
Sebut saja seperti pasar uang dan pasar modal yang menganut prinsip
Delivery versus Payment (DVP) atau bisa juga melakukan transaksi secara
cross border payment melalui Payment versus Payment (PVP).
Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai melalui aplikasi sistem BI-RTGS,
antara lain dengan BI-RTGS transfer dana antar peserta lebih cepat,
efisien, andal dan aman. Selain itu setidaknya ada kepastian settlement
dengan lebih segera. Sistem BI RTGS ini akan memperlihatkan informasi
rekening peserta secara real time dan menyeluruh. Bagi peserta RTGS juga
dituntut untuk disiplin dan profesional dalam mengelola likuiditas
mereka. Dan diharapkan melalui sistem RTGS ini akan mengurangi berbagai
risiko settlement.
Saat ini aplikasi sistem BI-RTGS sudah berjalan di semua Kantor Bank
Indonesia (KBI) di seluruh Indonesia. Sudah ada 148 peserta BI-RTGS yang
terdiri atas 125 bank konvensional, 21 bank syariah/UUS dan dua peserta
non-bank. Indonesia adalah negara kedelapan di Asia yang
mengaplikasikan RTGS. Sedangkan di dunia baru ada 30 negara yang
mengaplikasikannya. Jumlah dan nilai transaksi RTGS menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun.
- Automated teller machine (ATM).
Terminal elektronik yang idsediakan lembaga keuangan atau perusahaan
lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan penarikan tunai dari
rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo, atau
pemindahan dana.
- Computer banking.
Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke
pusat pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan,
menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.
- Debit (or check) card.
Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang
memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet (diambil)
dari rekening banknya.
- Direct deposit.
Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya
pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana
(misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana
ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah.
- Direct payment (also electronic bill payment).
Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar
tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana tersebut secara
elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct
payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus
menginisiasi setiap transaksi direct payment.
- Electronic bill presentment and payment (EBPP).
Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke
nasabah atau pelanggan secara online, misalnya melalui email atau
catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut,
pelanggan boleh membayar taguhan tersebut secara online juga jika
berkenan. Pembayaran tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo
simpanan pelanggan tersebut.
- Electronic check conversion.
Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (number rekening,
jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa dilakukan
pemindahan dana elektronik.
- Electronic fund transfer (EFT).
Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.
- Payroll card.
Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan pemberi kerja
sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses
pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja
menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara
elektronik.
- Preauthorized debit (or automatic bill payment).
Bentuk pembuayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi
pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening banknya pada
tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu
(misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara
elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor
(misalnya PLN atau PT Telkom).
- Prepaid card.
Salah satu tipe Stored-value card yang menyimpan nilai moneter di
dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke
penerbit kartu.
- Smart card.
Salah satu tipe stored-value card yang didalamnya tertanam satu atau
lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan
perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya
validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan
menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada system terbuka
(misalnya untuk pembayaran transportasi public) atau system tertutup
(misalnya MasterCard atau Visa networks).
- Stored-value card.
Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, melalui
pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan yang
diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk single-purpose
stored value card, penerbit (issuer) dan penerima (acceptor) kartu
adalah perusahaan yang sama dan dana pada kartu tersebut menunjukkan
pembayaran di muka untuk penggunaan barang dan jasa tertentu (misalnya
kartu telpon). Limited-purpose card secara umum digunakan secara
terbatas pada terminal POS yang teridentifikasi sebelumnya di
lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines di sekolah-sekolah).
Sedangkan multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa penyedia jasa
dengan kisaran yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo MasterCard,
Visa, atau logo lainnya dalam jaringan antar bank.
c. Prinsip penerapan E-Banking dan M-Banking
Saluran dari e-Banking yang telah diterapkan bank-bank di Indonesia sebagai berikut:
1. ATM, Automated Teller Machine atau Anjungan Tunai Mandiri
Ini adalah saluran e-Banking paling populer yang kita kenal. Setiap kita
pasti mempunyai kartu ATM dan menggunakan fasilitas ATM. Fitur
tradisional ATM adalah untuk mengetahui informasi saldo dan melakukan
penarikan tunai. Dalam perkembangannya, fitur semakin bertambah yang
memungkinkan untuk melakukan pemindahbukuan antar rekening, pembayaran
(a.l. kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (a.l. voucher dan
tiket), dan yang terkini transfer ke bank lain (dalam satu switching
jaringan ATM). Selain bertransaksi melalui mesin ATM, kartu ATM dapat
pula digunakan untuk berbelanja di tempat perbelanjaan, berfungsi
sebagai kartu debit. Bila kita mengenal ATM sebagai mesin untuk
mengambil uang, belakangan muncul pula ATM yang dapat menerima setoran
uang, yang dikenal pula sebagai Cash Deposit Machine/CDM. Layaklah bila
ATM disebut sebagai mesin sejuta umat dan segala bisa, karena ragam
fitur dan kemudahan penggunaannya.
sumber:
http://www.bombomers.co.cc/2011/05/jenis-jenis-teknologi-e-banking.htm/
http://galih147.wordpress.com/2011/06/27/sistem-perbankan-elektronik/
Selengkapnya...