Senin, 10 Juni 2013

SISTEM KETAHANAN NASIONAL

SISTEM KETAHANAN NASIONAL

SISTEM KETAHANAN NASIONAL PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI

Sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan gaya pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan pola pemerintahan nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan Soekarno tidaklah luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara “legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara yang menyatu dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan gaya khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67.
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain, bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
SISTEM KETAHANAN NASIONAL DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA LAIN DI DUNIA.

Ketahanan Pada Aspek Politik Dalam Negeri 
  1. Sistem pemerintahan berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut.
  2. Mekanisme politik yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat, namun bukan perbedaan mengenai nilai dasar. 
  3. Kepemimpinan nasional mampu mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat.  
  4. Terjalin komunikasi politik timbak balik antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan nasional.  
Ketahanan Pada Aspek Politik Luar Negeri  
  • Hubungan luar negeri ditujukan untuk meningkatkan kerjasama internasional di berbagai bidang dalam rangka memantapkan persatuan bangsa serta keutuhan NKRI.  
  • Politik luar negeri terus dikembangkan menurut prioritas dalam rangka meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang serta antara negara berkembang dengan negara maju sesuai kemampuan demi kepentingan nasional.  
  • Citra positif Indonesia perlu ditingkatkan dan diperluas melalui promosi, peningkatan diplomasi, pertukaran pelajar dan lain sebagainya.  
  • Perkembangan dunia terus diikuti dan dikaji agar terjadinya dampak negatif yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dapat diatasi sedari dini.  
  • Langkah bersama negara berkembang dengan negara industri maju untuk memperkecil ketimpangan dan mengurangi ketidakadilan perlu ditingkatkan melalui perjanjian perdagangan internasional.  
  • Peningkatan kualitas SDM perlu dilaksanakan dengan pembenahan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan calon diplomat secara menyeluruh agar mereka dapat menjawab tantangan tugas yang mereka hadapi.  
  • Perjuangan bangsa Indonesia yang menyangkut kepentingan nasional, seperti melindungi hak warga negara Republijk Indonesia diluar negeri perlu ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar